Keistimewaan negara Jepang
1. Kerja Keras
Sudah menjadi rahasia umum bahwa
bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di
Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika
(1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun),
dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa
menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara
lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang
pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya
dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh
dikatakan “agak memalukan” di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai
tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh perusahaan.
2. Malu
Malu adalah budaya leluhur dan
turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan
pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka
kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah
ke fenomena “mengundurkan diri” bagi para pejabat (mentri, politikus,
dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan
tugasnya. Efek negatifnya mungkin adalah anak-anak SD, SMP yang kadang
bunuh diri, karena nilainya jelek atau tidak naik kelas. Karena malu
jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada
mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah
jalan. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar
peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.
3. Hidup Hemat
Orang Jepang memiliki semangat
hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini
nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di masa awal mulai kehidupan di
Jepang, saya sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai
belanja di supermarket pada sekitar jam 19:30. Selidik punya selidik,
ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan
memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam
sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata
tutup pada pukul 20:00.
4. Loyalitas
Loyalitas membuat sistem karir
di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi. Sedikit berbeda
dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang
berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua
perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di
Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian
mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core
business) perusahaan.
5. Inovasi
Jepang bukan bangsa penemu, tapi
orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang dan
kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat.
Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman yang
melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya
dimiliki oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil
mengembangkan dan membundling model portable sebagai sebuah produk yang
booming selama puluhan tahun adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony
pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman
lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta produk. Teknik
perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang,
patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya
bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan
murah.
6. Pantang Menyerah
Sejarah membuktikan bahwa Jepang
termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun
dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri,
Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji
ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi
fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang
menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji
besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain
termasuk Indonesia . Kabarnya kalau Indonesia menghentikan pasokan
minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan gelap gulita Rentetan bencana
terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki
, disusul dengan kalah perangnya Jepang, dan ditambahi dengan adanya
gempa bumi besar di Tokyo . Ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa
tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan
bahkan juga kereta cepat (shinkansen) . Mungkin cukup menakjubkan
bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir
tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu
merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi
kerajaan bisnis di era kekinian. Akio Morita juga awalnya menjadi
tertawaan orang ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang mungil ke
berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda dengan Sony Walkman-nya.
Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar
dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama
shippaigaku (ilmu kegagalan). Kapan-kapan saya akan kupas lebih jauh
tentang ini
7. Budaya Baca
Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi. Saya pernah membahas masalah komik pendidikan di blog ini. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb). Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institute penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan.
8. Kerjasama Kelompok
Budaya di Jepang tidak terlalu
mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat individualistik.
Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau
kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi
kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas
mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok
mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang. Ada anekdot bahwa “1
orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang professor Amerika,
hanya 10 orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang
professor Jepang yang berkelompok” . Musyawarah mufakat atau sering
disebut dengan “rin-gi” adalah ritual dalam kelompok. Keputusan
strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi”.
9. Mandiri
Sejak usia dini anak-anak
dilatih untuk mandiri. Irsyad, anak saya yang paling gede sempat
merasakan masuk TK (Yochien) di Jepang. Dia harus membawa 3 tas besar
berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti,
buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di
lehernya. Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan
sendiri, dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas
SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya
kepada orang tua. Teman-temen seangkatan saya dulu di Saitama
University mengandalkan kerja part time untuk biaya sekolah dan
kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka “meminjam” uang
ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.
10. Jaga Tradisi & Menghormati Orang Tua
Perkembangan teknologi dan
ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi dan budayanya.
Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja masih ada dan
hidup sampai saat ini.
Budaya
minta maaf masih menjadi reflek orang Jepang. Kalau suatu hari anda
naik sepeda di Jepang dan menabrak pejalan kaki , maka jangan kaget
kalau yang kita tabrak malah yang minta maaf duluan.
Sampai
saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata “tidak” untuk apabila
mendapat tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam
pergaulan dengan orang Jepang karena “hai” belum tentu “ya” bagi orang
Jepang Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang.
Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah,
tidak menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi para
petaninya. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan
pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain
untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian. Pertanian
Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar