Pengikut

Minggu, 26 Januari 2014

makalah epistemologi ilmu dakwah


BAB I
Pendahuluan
A.    Latar belakang
Masalah utama yang harus ditata untuk bangunan sebuah ilmu adalah mengenai hal yang berkaitan dengan dengan epistemologi ilmu yang bersangkutan. Karena epistemologi merupakan dasr pijakan dengan bangunan ilmu dakwah. Dalam hal ini,tampaknya belum banyak tulisan atau forum diskusi dan seminar yang secara kusus membahas epistemologi dakwah.
Dalam Al-qur’an dan hadist serta sunnah-sunnah Rasulullah bisa kita dapati sentuhan-sentuhan teoritis yang merupakan benih keilmuan  dakwah,yang etlah banyak dijabarkan para pakar yang berusahamengembangkan ilmu dakwah,baik yang ditukis dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia,yang tidak bisa kami sebut satu persatu disini. Tetapi upaya membangun kerangka keilmuan yang sistematis dan baku harus selalu diupayakan.

B.     Rumusan masalah
1.                  Pengertian Epistemologi ilmu Dakwah
2.                  Landasan Epistemologi Dakwah
3.                  Model-model epistemology
4.                  Beberapa Persoalan Epistemologi Dakwah
5.                  Sumber Dakwah dan Ilmu Dakwah






BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Epistemologi Ilmu Dakwah

Dakwah pada mulanya dipahami sebagai perintah Allah yang tertuang dalam al-Qur’an. Bagi setiap Muslim yang taat kepada Allah, maka perintah berdakwah itu wajibdilaksanakan. Ketika dakwah dilaksanakan dengan baik, lalu disadari bahwa dakwah itumerupakan suatu kebutuhan hidup manusia. Ketika dakwah disadari sebagai suatukebutuhan hidup, maka dakwah pun menjadi suatu aktivitas setiap Muslim kapan pundan di mana pun mereka berada. Kemudian aktivitas dakwah pun berkembang dalamberbagai situasi dan kondisi dengan berbagai dinamikanya.
Sebelum membahas pengertian epistemologi dakwah,terlebih dahulu akan diuraikan pengertian ilmu dakwah. Djalaluddin rachmat memberi batasan ilmu dakwah sebagai ilmu yang mempelajari proses penerimaan,pengolahan,dan penyampaian ajaran islam untuk mengubah individu,kelompok,serta masyarakat sesuai dengan ajaran islam. Sedangkan menurut Amrullah Achmad memberi pengertian ilmu dakwah adalah sebagai kumpulan pengetahuan yang bersumber dari Allah dan dikembangkan umat islam dalam susunan yang sisitematis dan terorganisir mengenai manhaj melaksanakankewajiban dakwah bertujuan beriktiar mewujudkan khoiru ummah(umat terbaik).
Epistemologi dakwah adalah usaha seseorang untuk menelaah masalah – masalah,objectivitas,metodologi,sumber,serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan dakwah sebagai subyak bahasan(titik tolak berfikir).


B.Landasan Epistemologi  Dakwah

Sebelum kita membahas landasan epistemologi dakwah, kita dapat melihat berapa banyak dari ilmuan muslim yang juga menggunakan landasan pengetahuan yang bersumber pada islam. Semua sependapat bahwa sumber pengetahuan adalah Allah. Hal ini dinyatakan secara jelas dalam Al-qur’an surat Al.Kahfi ayat 109 di tegaskan:
Artinya: Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)"
Dengan ungkapan berbeda, al-qur’an menyatakan dalam bentuk cerita, pada saat awal penciptaan manusia, yaitu adam. Allah  mengajarkan kepada adam sesuatu yang tidak di ketahui adam. Kemudian dikatakan Allah sebagai sumber ilmu pengetahuan adalah dengan diwahyukannya (al-quran dan hadits), dan pengetahuan empiris (yang tidak diwahyukan) yang di dapat dari pengamatan dan penelitian terhadap penomena alam. Kemudian landasan lain yang perlu dipertimbangkan adalah teoritis, yaitu hasil karya manusia yang khusus mengkaji dakwah. Berangkat dari penjelasan diatas, dalam pengembangan dakwah perlu kiranya di pertegas tentang epistemology dakwah secara keilmuan. dalam hal ini berkaitan dengan landasan.Oleh karena itu teori kebenarannya adalah kebenaran ilmu dan bukan kebenaran agama, kebenaran itu diuji sejauh mana  keabsahan suatu pengetahuan itu,dan ini memerlukan pembuktian. Hubunganya  dengan ilmu dakwah berdasarkan sumber-sumber  pengetahuan tersebut  kami tawarkan metode pendekatan didalam ilmu dakwah yaitu
 Pendekatan Normatif intinya berusaha menemukan prinsip dakwah dari sumber normatif(al-quran dan hadits,maupun sejarah rosulullah.yaitu dengan mengetahui asbab an nuzul dan asbab al wurud serta metode tafsir dan hadits.
 Pendekatan Empiris innntinya berusaha mengkaji atau menyelidiki kasusu-kasus yang terjadi di masyarakat.yaitu untuk menemukan teori baru atau mengembangkan teori yang sudah ada.
 Pendekatan filosofis intinya berusaha mengkaji pemikiran para ulama atau pakar dakwah meleluai tulisan/karyanya.
C.     Model-Model Epistemologi Islam

Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model system berpikir dalam Islam, yakni : bayâni, irfâni dan burhâni, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sangat berbeda tentang pengetahuan.
Epistimologi Bayani.
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidaklangsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Epistemologi Irfani.
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani,tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas olehTuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.
Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak (1)Taubat, (2)Wa r a `,menjauhkan diri dari segala sesuatu yangsubhât, (3)Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. (4)Faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt, (5)Sabar, menerimasegala bencana dengan laku sopan dan rela. (6)Tawakkal, percayaatas segala apa yang ditentukan-Nya. (7)Ridla, hilangnya rasaketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita.
Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui.Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut,keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalahk esadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd) yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘ilmu huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge).
Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.
Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi batin yang diperoleh dari kasyf tersebut diungkapkan? Pertama, diungkapkan dengan cara I`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi (penyepadanan) makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks.15 ke dua, diungkapkan lewat syathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atau Ana al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M).16 Karena itu, menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran.
Epistemologi Burhani.
Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
Tiga epistemologi Islam ini mempunyai ‘basis’ dan karakter yang berbeda. Pengetahuan bayani didasarkan atas teks suci, irfani pada intuisi sedang burhani pada rasio. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk bayani, karena hanya mendasarkan diri pada teks, ia menjadi terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental bukan substansial, sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begitu cepat. Kenyataannya, pemikiran Islam saat ini yang masih banyak didominasi pemikiran bayani fiqhiyah kurang bisa merespondan mengimbangi perkembangan peradaban dunia. Tentang burhani, ia tidak mampu mengungkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta[9]. Misalnya, burhani tidak mampu menjelaskan seluruh eksistensi diluar pikiran seperti soal warna, bau, rasa atau bayangan.
Jadi ketiga hal tersebut harus disatukan dalam sebuah pemahaman. Maksudnya, ketiga model tersebut diikat dalam sebuah jalinan kerjasama untuk saling mendukung dan mengisi kekurangan masing-masing sehingga terciptalah Islam yang 'Shalih li Kulli Zaman wa Makan', Islam yang aktual dan kontekstual dalam semua tingkat peradaban. Kita harus mengambil filsafat, bukan sekedar sejarahnya melainkan lebih pada aspek metodologinya dengan dibantu ilmu-ilmu kontemporer sehingga ia mampu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam kedepan.

D.    Persoalan Epistemologi Dakwah

Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub-sistem dari filsafat, disamping ontologi dan aksiologi. Pada setiap jenis pengetahuan filsafat mempunyai ciri-ciriyang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi)pengetahuan tersebut digali dan dikembangkan. Jika membicarakan epistemologi ilmu,maka seharusnya dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi, sebab ketiga-tiganya memilikifungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Jika terdapat obyekpemikiran –dalam konteks ini adalah ontologi ilmu dakwah, yakni ilmu komunikasi danpenyiaran Islam, ilmu bimbingan dan konseling Islam, dan ilmu pengembangan masyarakatIslam--, tetapi jika tidak didapatkan cara-cara berpikirnya (epistemologinya), maka obyekpemikiran itu akan ”diam” saja sehingga tidak diperoleh pengetahuan apa pun. Sekiranyaobyek pemikiran ada, cara-cara berpikir juga ada, tetapi tidak diketahui manfaat apa yangbisa dihasilkan dari sesuatu yang dipikirkan itu (aksiologinya), maka hanya akan sia-sia.
Dengan demikian, ketiga-tiganya adalah bersifat interrelasi dan interdepedensi.Ketika dalam kajian ini dibicarakan epistemologi, berarti dibatasi kajiannyatentang upaya, cara atau langkah-langkah yang seharusnya ditempuh untuk mendapatilmu dakwah, termasuk bidang-bidang ilmu yang tercakup di dalamnya.
Dari sudutpandang ini, setidaknya didapat perbedaan yang signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang paling tepat untuk mengembangkan kreativitas keilmuwan dibandingkan ontologi dan aksiologi. Oleh karena itu, perlu diungkapkan sepintas mengenai seluk beluk di seputar epistemologi, sebelum dikemukakan beberapa persoalan epistemologi pengembangan ilmu dakwah.
Pertama, M. Arifin merinci ruang lingkup kajian epistemologi meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Ahmad menyebut enam aspek kajian epistemologi, yakni hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Sedangkan A.M. Saefuddin menyebut bahwa epistemologi itu harus mampu menjawab pertanyaan: apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apahakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu,mungkinkah mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat diketahui dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu, jika diringkaskan menjadi dua masalahpokok, yakni masalah sumber ilmu dakwah dan masalah benar tidaknya ilmu dakwah ituberdasarkan sumber-sumber ilmu dakwah.
Kedua, tujuan utama epistemologi sebagaimana pendapat Jacques Martain adalah bukan untuk mendapat jawaban ”apakah saya dapat tahu”, tetapi yang utama dari tujuan epistemologi adalah menemukan ”syarat-syarat yang memungkinkan sayadapat tahu”. Di sini ditemukan makna strategis dalam dinamika pengembangan ilmudakwah, yakni dapat menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampaimerasa puas dengan sekedar memperoleh ilmu dakwah tanpa disertai dengan carabagaimana memperoleh ilmu dakwah itu. Keadaan seseorang memperoleh ilmu dakwahitu berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan seseorang yang disertai dengan carabagaimana memperoleh pengetahuan itu berorientasi pada prosesnya. Jadi, prosesmenjadi tahu atau ”proses pengetahuan” inilah yang menjadi pembuka terhadappengetahuan, pemahaman dan pengembangan ilmu dakwah.
Ketiga, kedudukan cara bagaimana atau metode dalam epistemologi adalah sebagai alat dalam mencapai pengetahuan. Suatu bangsa yang berhasil memajukanilmu pengetahuan, ternyata mereka didukung oleh keunggulan dalam pengembanganmetode-metodenya. A. Mukti Ali bahkan menyebut di beberapa negara Arab, sepertiSaudi Arabia dan Kuwait yang secara ekonomi telah mencapai kemajuan, tetapi karenatidak ada upaya maksimal untuk mengembangkan metode, ternyata mereka tetap sajamenjadi konsumen terhadap ilmu pengetahuan Barat modern.
Keempat, lingkup obyek pengembangan ilmu dakwah menurut Amrullah Ahmad dapat dibedakan kajiannya menjadi obyek material dan obyek formalnya. Obyek material ilmu dakwah adalah semua aspek ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’andan al-Sunnah, sejarah dan peradaban Islam. Obyek material ini termanifestasi dalamdisiplin-disiplin ilmu keislaman lainnya yang kemudian berfungsi sebagai ilmu bantu bagiilmu dakwah. Sedangkan obyek formal ilmu dakwah adalah mengkaji salah satu sisi dariobyek material tersebut, yakni kegiatan mengajak umat manusia supaya masuk ke jalanAllah (sistem Islam) dalam semua segi kehidupan. Bentuk kegiatan mengajak itu, yakni:
(1) mengajak dengan lisan dan tulisan (da’wah bil lisan dan bil qalam); (2) mengajak dengan perbuatan (da’wah bil hal atau aksi sosial); dan (3) mengajak dengan mengelola hasil-hasil dakwah dalam bentuk lembaga dakwah untuk mencapai sasarandan tujuan dakwah Islam.
Kelima, kontribusi epistemologi terhadap ilmu pengetahuan dapat dilihat dari perbandingan segi tiga antara wilayah Yunani, Islam dan dunia Barat.18 Dari perbandingan ini dapat dipahami kontribusi epistemologi terhadap pengembangan ilmudakwah, khususnya dalam pengembangan kurikulum yang berorientasi kebenaranfilsafat, kebenaran epistemoligik dan kebenaran wahyu, sbb:
1. Kontribusi ilmu pengetahuan Yunani ditekankan pada aspek ontologi yang hendak mengejar kebenaran substantif dan spekulatif, baik dalam kognisi maupun realitas inderawi. Di sini memunculkan pengetahuan-pengetahuan yang bersumber dari metode spekulatif dalam pengembangan matakuliah pada Fakultas Dakwah, seperti Filsafat Umum dan Filsafat Ilmu;
2. Kontribusi ilmu pengetahuan Barat modern ditekankan pada proses epistemologi atau metode ilmiah yang dilewati sebagai sarana mencapai kebenaran. Di sini melahirkan pengetahuan-pengetahuan berdasarkan kebenaran epistemologik, seperti matakuliah bidang komunikasi, sosiologi, manajemen, metodologi penelitian, psikologi, konseling, psikoterapi dan kesehatan mental. Matakuliah-matakuliah ini berdasarkan epistemologi Barat modern kemudian diambil untuk pengembangan ilmu dakwah.
3. Kontribusi ilmu pengetahuan di dunia Islam ditekankan pada aspek aksiologi yang berfungsi sebagai landasan dalam mengkonstruksi fakta. Islam tidak menghendaki keterpisahan antara ilmu dan sistem nilai, seperti yang terjadi di Barat. Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agamawi yang mengakui eksistensi Allah, tidak hanya sebatas keyakinan semata, tetapi diterapkan dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Di sini melahirkan pengetahuan berdasarkan kebenaran wahyu dalam pengembangan kurikulum ilmu dakwah, seperti Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Ilmu Fiqh dan Ilmu Dakwah dan sebagainya.




E.      Sumber Dakwah dan Ilmu Dakwah

Ilmu dakwah adalah kumpulan pengetahuan yang membahas masalah dan segala hal yang timbul atau mengemuka karena adanya interaksi antar unsur dari sistem dakwah agar diperoleh pengetahuan yang tepat, dan benar mengenai kenyataan dakwah.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa sumber-sumber ilmu teridir dari empat macam, yaitu akal, instuisi, indra dan otoritas. Ada juga yang berpendapat ilmu bersumber dari Wahyu, akal dan alam. Muhammad Iqbal menyatakan sumber ilmu adalah afaq (alam semesta), anfus (ego/diri) yang terdiri dari panca indra akal dan instuisi, tarikh (sejarah). Jika kita pahami ketiga pendapat diatas sebenarnya terjadi persamaan fungsi dari Wahyu, otoritas dan sejarah dalam pengertian Muhammad Iqbal, kemudian indra jika dihubungkan dengan konsep sumber ilmu Muhammad Iqbal sama dengan afaq dan anfus.
Macam-macam sumber ilmu tersebut jika dihubungkan dengan denotasi dakwah ditemukan bentuk hubungan yang spesifik antara macam sumber tertentu dengan objek forma ilmu dakwah. Objek forma ilmu dakwah secara terperinci dapat dipahami sebagai problematika yang timbul dari interaksi antar unsur dalam sistem dakwah, unsur-unsur yang dimaksud adalah Doktrin Islam, Dai, Tujuan dakwah dan Mad’u..
Interaksi Doktrin Islam dengan Da’I melahirkan realitas dakwah yang berupa pemahaman da’I terhadap hakikat, status, dan fungsi dakwah dalam sistematika ajaran Islam. Problematika ini mempersoalkan dasar-dasar umum dan hakikat dakwah sebagai realita dalam ajaran Islam, esensi pesan, dinamika dakwah dalam sejarah menurut perspektif Al Quran, hadist dan produk pemikiran mengenai ajaran Islam itu sendiri.
Realitas yang muncul dari interaksi antara unsur da’I dan mad’u adalah kemungkinan terjadi penerimaan dan penolakan terhadap pesan dakwa, dampak praktek dakwah terhadap keduanya secara psikologi dan sosiologi, perencanaan penyajian pesan dakwah, sumber ilmu yang relevan dengan kajian terhadap objek forma anfus dan afaq.
Interkasi mad’u dan tujuan dakwah adalah problematika model (uswah) yang dapat diamati secara empiris oleh mad’u yang berkaitan dengan bentuk nyata prilaku individual dan kolektif yang dapat dikategorikan sebagai prilaku dalam dimensi amal shaleh.




















BAB IV
KESIMPULAN

Islam sebagai agama dakwah senantiasa mendorong umatnya untuk aktif dalam melaksanakan kegiatan dakwah. Maju mundurnya agama islam sangat ditentukan oleh aktivitas dakwah yang dilakukan oleh umat.
Epistemologi dakwah adalah usaha seseorang untuk menelaah masalah – masalah,objectivitas,metodologi,sumber,serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan dakwah sebagai subyak bahasan(titik tolak berfikir).
Ilmu dakwah adalah kumpulan pengetahuan yang membahas masalah dan segala hal yang timbul dari interaksi unsur-unsur sistem dakwah, agar diperoleh pengetahuan yang benar, dan tepat dari kenyataan dakwah. Allah SWT sebagai sumber dar segala sumber dakwah, meski demikian dalam kenyataan empiris yang menjadi pedoman pelaksanaan dakwah, namun tetap tidak keluar dari Al Quran, sunnah rasul, dan histori kenyataan dakwah. Banyak da’i yang menjadikan experience sebagai referensi dalam menjalankan aktivitas dakwahnya.
Hubunganya  dengan ilmu dakwah berdasarkan sumber-sumber  pengetahuan tersebut  kami tawarkan metode pendekatan didalam ilmu dakwah yaitu
 Pendekatan Normatif intinya berusaha menemukan prinsip dakwah dari sumber normatif(al-quran dan hadits,maupun sejarah rosulullah.yaitu dengan mengetahui asbab an nuzul dan asbab al wurud serta metode tafsir dan hadits.
  Pendekatan Empiris innntinya berusaha mengkaji atau menyelidiki kasusu-kasus yang terjadi di masyarakat.yaitu untuk menemukan teori baru atau mengembangkan teori yang sudah ada.
 Pendekatan filosofis intinya berusaha mengkaji pemikiran para ulama atau pakar dakwah meleluai tulisan/karyanya.
Dengan tujuan mengembalikan potensi fitrah manusia agar eksistensinya memiliki makna dihadapan sang penciptanya, dakwah memberikan tugas mulia pada manusia untuk selalu menyerukan doktrin Islam yang akan membawa pada kebahagiaan yang hakiki.























DAFTAR PUSTAKA

Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso. 1994. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problema-Problema Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
 Drs.Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah:Teras,
 M. Arifin. 1991. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
 A.M.Saefuddin. 1991. Desekularisasi Pemikiran. Bandung:  Landasan Islamisasi.
 Mam Barnadib. 1976. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta.
 A.Mukti Ali. 1989. Metodologi Ilmu Agama Islam. Yogyakarta: Tiara Wacara.
 Sulthon, Muhammad. 2003. Desain Ilmu Dakwah. Yogyakarta   Pustaka Pelajar.
 Basit, Abdul, M.Ag. 2006. Wacana Dakwah Kontemporer. Purwokerto.  STAIN Purwokerto Press.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar