BAB I
Pendahuluan
A.
Latar belakang
Masalah
utama yang harus ditata untuk bangunan sebuah ilmu adalah mengenai hal yang
berkaitan dengan dengan epistemologi ilmu yang bersangkutan. Karena
epistemologi merupakan dasr pijakan dengan bangunan ilmu dakwah. Dalam hal
ini,tampaknya belum banyak tulisan atau forum diskusi dan seminar yang secara
kusus membahas epistemologi dakwah.
Dalam
Al-qur’an dan hadist serta sunnah-sunnah Rasulullah bisa kita dapati
sentuhan-sentuhan teoritis yang merupakan benih keilmuan dakwah,yang
etlah banyak dijabarkan para pakar yang berusahamengembangkan ilmu dakwah,baik
yang ditukis dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia,yang tidak bisa kami
sebut satu persatu disini. Tetapi upaya membangun kerangka keilmuan yang
sistematis dan baku harus selalu diupayakan.
B.
Rumusan masalah
1.
Pengertian Epistemologi ilmu Dakwah
2.
Landasan Epistemologi Dakwah
3.
Model-model epistemology
4.
Beberapa Persoalan Epistemologi Dakwah
5.
Sumber Dakwah dan Ilmu Dakwah
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Epistemologi Ilmu Dakwah
Dakwah pada mulanya dipahami sebagai
perintah Allah yang tertuang dalam al-Qur’an. Bagi setiap Muslim yang taat
kepada Allah, maka perintah berdakwah itu wajibdilaksanakan. Ketika
dakwah dilaksanakan dengan baik, lalu disadari bahwa dakwah itumerupakan suatu
kebutuhan hidup manusia. Ketika dakwah disadari sebagai suatukebutuhan hidup,
maka dakwah pun menjadi suatu aktivitas setiap Muslim kapan pundan di mana pun
mereka berada. Kemudian aktivitas dakwah pun berkembang dalamberbagai situasi dan
kondisi dengan berbagai dinamikanya.
Sebelum membahas
pengertian epistemologi dakwah,terlebih dahulu akan diuraikan pengertian ilmu
dakwah. Djalaluddin rachmat memberi batasan ilmu dakwah sebagai ilmu yang
mempelajari proses penerimaan,pengolahan,dan penyampaian ajaran islam untuk
mengubah individu,kelompok,serta masyarakat sesuai dengan ajaran islam.
Sedangkan menurut Amrullah Achmad memberi pengertian ilmu dakwah adalah sebagai
kumpulan pengetahuan yang bersumber dari Allah dan dikembangkan umat islam dalam
susunan yang sisitematis dan terorganisir mengenai manhaj melaksanakankewajiban
dakwah bertujuan beriktiar mewujudkan khoiru ummah(umat terbaik).
Epistemologi
dakwah adalah usaha seseorang untuk menelaah masalah –
masalah,objectivitas,metodologi,sumber,serta validitas pengetahuan secara
mendalam dengan menggunakan dakwah sebagai subyak bahasan(titik tolak
berfikir).
B.Landasan Epistemologi Dakwah
Sebelum
kita membahas landasan epistemologi dakwah, kita dapat melihat berapa banyak
dari ilmuan muslim yang juga menggunakan landasan pengetahuan yang bersumber
pada islam. Semua sependapat bahwa sumber pengetahuan adalah Allah. Hal ini
dinyatakan secara jelas dalam Al-qur’an surat Al.Kahfi ayat 109 di tegaskan:
Artinya:
Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)"
Dengan
ungkapan berbeda, al-qur’an menyatakan dalam bentuk cerita, pada saat awal
penciptaan manusia, yaitu adam. Allah mengajarkan kepada adam
sesuatu yang tidak di ketahui adam. Kemudian dikatakan Allah sebagai sumber
ilmu pengetahuan adalah dengan diwahyukannya (al-quran dan hadits), dan
pengetahuan empiris (yang tidak diwahyukan) yang di dapat dari pengamatan dan
penelitian terhadap penomena alam. Kemudian landasan lain yang perlu
dipertimbangkan adalah teoritis, yaitu hasil karya manusia yang khusus mengkaji
dakwah. Berangkat dari penjelasan diatas, dalam pengembangan dakwah perlu
kiranya di pertegas tentang epistemology dakwah secara keilmuan. dalam hal ini
berkaitan dengan landasan.Oleh karena itu teori kebenarannya adalah kebenaran
ilmu dan bukan kebenaran agama, kebenaran itu diuji sejauh
mana keabsahan suatu pengetahuan itu,dan ini memerlukan pembuktian.
Hubunganya dengan ilmu dakwah berdasarkan sumber-sumber pengetahuan
tersebut kami tawarkan metode pendekatan didalam ilmu dakwah yaitu
Pendekatan Normatif intinya berusaha menemukan
prinsip dakwah dari sumber normatif(al-quran dan hadits,maupun sejarah
rosulullah.yaitu dengan mengetahui asbab an nuzul dan asbab al wurud serta
metode tafsir dan hadits.
Pendekatan Empiris innntinya berusaha mengkaji
atau menyelidiki kasusu-kasus yang terjadi di masyarakat.yaitu untuk menemukan
teori baru atau mengembangkan teori yang sudah ada.
Pendekatan filosofis intinya berusaha mengkaji
pemikiran para ulama atau pakar dakwah meleluai tulisan/karyanya.
C.
Model-Model Epistemologi
Islam
Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa
aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi).
Setidaknya ada tiga model system berpikir dalam Islam, yakni : bayâni, irfâni
dan burhâni, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sangat berbeda tentang
pengetahuan.
Epistimologi Bayani.
Bayani adalah
metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash),
secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks
sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran;
secara tidaklangsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga
perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau
rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar
pada teks.
Epistemologi Irfani.
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks
seperti bayani,tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas
olehTuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa
teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan
akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep
kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian
pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan,
(2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.
Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima
limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang
kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai
dari bawah menuju puncak (1)Taubat,
(2)Wa r a `,menjauhkan diri dari
segala sesuatu yangsubhât, (3)Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan
kehidupan dunia. (4)Faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan,
dan tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt, (5)Sabar, menerimasegala
bencana dengan laku sopan dan rela. (6)Tawakkal,
percayaatas segala apa yang ditentukan-Nya. (7)Ridla, hilangnya
rasaketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan
sukacita.
Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai
tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan
langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan
mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga
dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah)
sebagai objek yang diketahui.Namun, realitas kesadaran dan realitas yang
disadari tersebut,keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan
eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalahk esadaran
yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd) yang dalam kajian
Mehdi Yazdi disebut ‘ilmu huduri’ atau pengetahuan swaobjek
(self-object-knowledge).
Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman mistik
diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan.
Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi
tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan
kehadiran diri dalam tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak
semua pengalaman ini bisa diungkapkan.
Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi
batin yang diperoleh dari kasyf tersebut diungkapkan? Pertama, diungkapkan dengan cara I`tibâr atau qiyas
irfani. Yakni analogi (penyepadanan) makna batin yang ditangkap dalam kasyf
kepada makna zahir yang ada dalam teks.15 ke
dua, diungkapkan lewat syathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan
(al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi
dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w.
877 M), atau Ana al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M).16 Karena itu, menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran.
Epistemologi Burhani.
Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih
berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada
teks. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat
dalil-dalil logika. Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani
menghasilkan pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal; irfani
menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani
menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan
sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
Tiga epistemologi Islam ini mempunyai ‘basis’
dan karakter yang berbeda. Pengetahuan bayani didasarkan atas teks suci, irfani
pada intuisi sedang burhani pada rasio. Masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Untuk bayani, karena hanya mendasarkan diri pada teks, ia menjadi
terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental bukan substansial, sehingga
kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang
begitu cepat. Kenyataannya, pemikiran Islam saat ini yang masih banyak
didominasi pemikiran bayani fiqhiyah kurang bisa merespondan mengimbangi
perkembangan peradaban dunia. Tentang burhani, ia tidak mampu mengungkap
seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta[9]. Misalnya, burhani tidak mampu
menjelaskan seluruh eksistensi diluar pikiran seperti soal warna, bau, rasa
atau bayangan.
Jadi ketiga hal tersebut harus disatukan
dalam sebuah pemahaman. Maksudnya, ketiga model tersebut diikat dalam sebuah
jalinan kerjasama untuk saling mendukung dan mengisi kekurangan masing-masing
sehingga terciptalah Islam yang 'Shalih li Kulli Zaman wa Makan', Islam
yang aktual dan kontekstual dalam semua tingkat peradaban. Kita harus mengambil
filsafat, bukan sekedar sejarahnya melainkan lebih pada aspek metodologinya
dengan dibantu ilmu-ilmu kontemporer sehingga ia mampu memberikan sumbangan
yang signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam kedepan.
D.
Persoalan Epistemologi Dakwah
Dalam pembahasan filsafat,
epistemologi dikenal sebagai sub-sistem dari filsafat, disamping ontologi dan
aksiologi. Pada setiap jenis pengetahuan filsafat mempunyai ciri-ciriyang
spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa
(aksiologi)pengetahuan tersebut digali dan dikembangkan. Jika membicarakan
epistemologi ilmu,maka seharusnya dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi,
sebab ketiga-tiganya memilikifungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam
mekanisme pemikiran. Jika terdapat obyekpemikiran –dalam konteks ini
adalah ontologi ilmu dakwah, yakni ilmu komunikasi danpenyiaran Islam, ilmu
bimbingan dan konseling Islam, dan ilmu pengembangan masyarakatIslam--, tetapi
jika tidak didapatkan cara-cara berpikirnya (epistemologinya), maka
obyekpemikiran itu akan ”diam” saja sehingga tidak diperoleh pengetahuan apa
pun. Sekiranyaobyek pemikiran ada, cara-cara berpikir juga ada, tetapi tidak
diketahui manfaat apa yangbisa dihasilkan dari sesuatu yang dipikirkan itu
(aksiologinya), maka hanya akan sia-sia.
Dengan demikian, ketiga-tiganya
adalah bersifat interrelasi dan interdepedensi.Ketika dalam kajian ini
dibicarakan epistemologi, berarti dibatasi kajiannyatentang upaya, cara atau
langkah-langkah yang seharusnya ditempuh untuk mendapatilmu dakwah, termasuk bidang-bidang
ilmu yang tercakup di dalamnya.
Dari sudutpandang ini, setidaknya
didapat perbedaan yang signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam lingkup
epistemologi adalah aktivitas yang paling tepat untuk mengembangkan kreativitas
keilmuwan dibandingkan ontologi dan aksiologi. Oleh karena itu, perlu
diungkapkan sepintas mengenai seluk beluk di seputar epistemologi, sebelum
dikemukakan beberapa persoalan epistemologi pengembangan ilmu dakwah.
Pertama, M. Arifin merinci ruang lingkup
kajian epistemologi meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor
Ahmad menyebut enam aspek kajian epistemologi, yakni hakikat, unsur, macam,
tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Sedangkan A.M. Saefuddin
menyebut bahwa epistemologi itu harus mampu menjawab pertanyaan: apakah ilmu
itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apahakikatnya, bagaimana membangun ilmu
yang tepat dan benar, apa kebenaran itu,mungkinkah mencapai ilmu yang benar,
apa yang dapat diketahui dan sampai dimanakah batasannya. Semua
pertanyaan itu, jika diringkaskan menjadi dua masalahpokok, yakni masalah
sumber ilmu dakwah dan masalah benar tidaknya ilmu dakwah ituberdasarkan
sumber-sumber ilmu dakwah.
Kedua, tujuan utama epistemologi
sebagaimana pendapat Jacques Martain adalah bukan untuk mendapat jawaban ”apakah
saya dapat tahu”, tetapi yang utama dari tujuan epistemologi adalah
menemukan ”syarat-syarat yang memungkinkan sayadapat tahu”. Di
sini ditemukan makna strategis dalam dinamika pengembangan ilmudakwah, yakni
dapat menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampaimerasa puas dengan
sekedar memperoleh ilmu dakwah tanpa disertai dengan carabagaimana memperoleh
ilmu dakwah itu. Keadaan seseorang memperoleh ilmu dakwahitu berorientasi pada
hasil, sedangkan keadaan seseorang yang disertai dengan carabagaimana
memperoleh pengetahuan itu berorientasi pada prosesnya. Jadi, prosesmenjadi
tahu atau ”proses pengetahuan” inilah yang menjadi pembuka terhadappengetahuan,
pemahaman dan pengembangan ilmu dakwah.
Ketiga, kedudukan cara bagaimana atau
metode dalam epistemologi adalah sebagai alat dalam mencapai pengetahuan. Suatu
bangsa yang berhasil memajukanilmu pengetahuan, ternyata mereka didukung oleh
keunggulan dalam pengembanganmetode-metodenya. A. Mukti Ali bahkan menyebut di
beberapa negara Arab, sepertiSaudi Arabia dan Kuwait yang secara ekonomi telah
mencapai kemajuan, tetapi karenatidak ada upaya maksimal untuk mengembangkan
metode, ternyata mereka tetap sajamenjadi konsumen terhadap ilmu pengetahuan
Barat modern.
Keempat, lingkup obyek pengembangan ilmu
dakwah menurut Amrullah Ahmad dapat dibedakan kajiannya menjadi obyek material
dan obyek formalnya. Obyek material ilmu dakwah adalah semua aspek ajaran Islam
yang terdapat dalam al-Qur’andan al-Sunnah, sejarah dan peradaban Islam. Obyek
material ini termanifestasi dalamdisiplin-disiplin ilmu keislaman lainnya yang
kemudian berfungsi sebagai ilmu bantu bagiilmu dakwah. Sedangkan obyek formal
ilmu dakwah adalah mengkaji salah satu sisi dariobyek material tersebut, yakni
kegiatan mengajak umat manusia supaya masuk ke jalanAllah (sistem Islam) dalam
semua segi kehidupan. Bentuk kegiatan mengajak itu, yakni:
(1) mengajak dengan lisan dan
tulisan (da’wah bil lisan dan bil qalam); (2) mengajak dengan
perbuatan (da’wah bil hal atau aksi sosial); dan (3) mengajak dengan
mengelola hasil-hasil dakwah dalam bentuk lembaga dakwah untuk mencapai
sasarandan tujuan dakwah Islam.
Kelima, kontribusi epistemologi terhadap
ilmu pengetahuan dapat dilihat dari perbandingan segi tiga antara wilayah
Yunani, Islam dan dunia Barat.18 Dari perbandingan ini dapat dipahami
kontribusi epistemologi terhadap pengembangan ilmudakwah, khususnya dalam
pengembangan kurikulum yang berorientasi kebenaranfilsafat, kebenaran
epistemoligik dan kebenaran wahyu, sbb:
1. Kontribusi ilmu pengetahuan
Yunani ditekankan
pada aspek ontologi yang hendak mengejar kebenaran substantif dan spekulatif,
baik dalam kognisi maupun realitas inderawi. Di sini memunculkan
pengetahuan-pengetahuan yang bersumber dari metode spekulatif dalam
pengembangan matakuliah pada Fakultas Dakwah, seperti Filsafat Umum dan
Filsafat Ilmu;
2. Kontribusi ilmu pengetahuan Barat
modern ditekankan
pada proses epistemologi atau metode ilmiah yang dilewati sebagai sarana
mencapai kebenaran. Di sini melahirkan pengetahuan-pengetahuan berdasarkan
kebenaran epistemologik, seperti matakuliah bidang komunikasi, sosiologi,
manajemen, metodologi penelitian, psikologi, konseling, psikoterapi dan
kesehatan mental. Matakuliah-matakuliah ini berdasarkan epistemologi Barat
modern kemudian diambil untuk pengembangan ilmu dakwah.
3. Kontribusi ilmu pengetahuan di
dunia Islam ditekankan
pada aspek aksiologi yang berfungsi sebagai landasan dalam mengkonstruksi
fakta. Islam tidak menghendaki keterpisahan antara ilmu dan sistem nilai,
seperti yang terjadi di Barat. Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agamawi
yang mengakui eksistensi Allah, tidak hanya sebatas keyakinan semata, tetapi
diterapkan dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Di sini melahirkan pengetahuan
berdasarkan kebenaran wahyu dalam pengembangan kurikulum ilmu dakwah, seperti
Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Ilmu Fiqh dan Ilmu Dakwah dan sebagainya.
E. Sumber Dakwah dan Ilmu Dakwah
Ilmu
dakwah adalah kumpulan pengetahuan yang membahas masalah dan segala hal yang
timbul atau mengemuka karena adanya interaksi antar unsur dari sistem dakwah
agar diperoleh pengetahuan yang tepat, dan benar mengenai kenyataan dakwah.
Dalam
beberapa literatur disebutkan bahwa sumber-sumber ilmu teridir dari empat
macam, yaitu akal, instuisi, indra dan otoritas. Ada juga yang berpendapat ilmu
bersumber dari Wahyu, akal dan alam. Muhammad Iqbal menyatakan sumber ilmu
adalah afaq (alam semesta), anfus (ego/diri) yang terdiri dari
panca indra akal dan instuisi, tarikh (sejarah). Jika kita pahami ketiga
pendapat diatas sebenarnya terjadi persamaan fungsi dari Wahyu, otoritas dan
sejarah dalam pengertian Muhammad Iqbal, kemudian indra jika dihubungkan dengan
konsep sumber ilmu Muhammad Iqbal sama dengan afaq dan anfus.
Macam-macam
sumber ilmu tersebut jika dihubungkan dengan denotasi dakwah ditemukan bentuk
hubungan yang spesifik antara macam sumber tertentu dengan objek forma ilmu
dakwah. Objek forma ilmu dakwah secara terperinci dapat dipahami sebagai
problematika yang timbul dari interaksi antar unsur dalam sistem dakwah,
unsur-unsur yang dimaksud adalah Doktrin Islam, Dai, Tujuan dakwah dan Mad’u..
Interaksi
Doktrin Islam dengan Da’I melahirkan realitas dakwah yang berupa pemahaman da’I
terhadap hakikat, status, dan fungsi dakwah dalam sistematika ajaran Islam.
Problematika ini mempersoalkan dasar-dasar umum dan hakikat dakwah sebagai
realita dalam ajaran Islam, esensi pesan, dinamika dakwah dalam sejarah menurut
perspektif Al Quran, hadist dan produk pemikiran mengenai ajaran Islam itu
sendiri.
Realitas
yang muncul dari interaksi antara unsur da’I dan mad’u adalah kemungkinan
terjadi penerimaan dan penolakan terhadap pesan dakwa, dampak praktek dakwah
terhadap keduanya secara psikologi dan sosiologi, perencanaan penyajian pesan
dakwah, sumber ilmu yang relevan dengan kajian terhadap objek forma anfus
dan afaq.
Interkasi
mad’u dan tujuan dakwah adalah problematika model (uswah) yang dapat
diamati secara empiris oleh mad’u yang berkaitan dengan bentuk nyata prilaku
individual dan kolektif yang dapat dikategorikan sebagai prilaku dalam dimensi
amal shaleh.
BAB
IV
KESIMPULAN
Islam
sebagai agama dakwah senantiasa mendorong umatnya untuk aktif dalam
melaksanakan kegiatan dakwah. Maju mundurnya agama islam sangat ditentukan oleh
aktivitas dakwah yang dilakukan oleh umat.
Epistemologi
dakwah adalah usaha seseorang untuk menelaah masalah –
masalah,objectivitas,metodologi,sumber,serta validitas pengetahuan secara
mendalam dengan menggunakan dakwah sebagai subyak bahasan(titik tolak
berfikir).
Ilmu
dakwah adalah kumpulan pengetahuan yang membahas masalah dan segala hal yang
timbul dari interaksi unsur-unsur sistem dakwah, agar diperoleh pengetahuan
yang benar, dan tepat dari kenyataan dakwah. Allah SWT sebagai sumber dar
segala sumber dakwah, meski demikian dalam kenyataan empiris yang menjadi
pedoman pelaksanaan dakwah, namun tetap tidak keluar dari Al Quran, sunnah
rasul, dan histori kenyataan dakwah. Banyak da’i yang menjadikan experience
sebagai referensi dalam menjalankan aktivitas dakwahnya.
Hubunganya
dengan ilmu dakwah berdasarkan sumber-sumber pengetahuan tersebut
kami tawarkan metode pendekatan didalam ilmu dakwah yaitu
Pendekatan Normatif intinya berusaha menemukan
prinsip dakwah dari sumber normatif(al-quran dan hadits,maupun sejarah
rosulullah.yaitu dengan mengetahui asbab an nuzul dan asbab al wurud serta
metode tafsir dan hadits.
Pendekatan Empiris innntinya berusaha mengkaji atau menyelidiki kasusu-kasus
yang terjadi di masyarakat.yaitu untuk menemukan teori baru atau mengembangkan
teori yang sudah ada.
Pendekatan filosofis intinya berusaha mengkaji
pemikiran para ulama atau pakar dakwah meleluai tulisan/karyanya.
Dengan
tujuan mengembalikan potensi fitrah manusia agar eksistensinya memiliki makna
dihadapan sang penciptanya, dakwah memberikan tugas mulia pada manusia untuk
selalu menyerukan doktrin Islam yang akan membawa pada kebahagiaan yang hakiki.
DAFTAR PUSTAKA
Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori
Suroso. 1994. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problema-Problema
Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Drs.Suisyanto, Pengantar Filsafat
Dakwah:Teras,
M. Arifin. 1991. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Bumi Aksara.
A.M.Saefuddin.
1991. Desekularisasi Pemikiran.
Bandung: Landasan Islamisasi.
Mam Barnadib. 1976. Filsafat Pendidikan:
Sistem dan Metode. Yogyakarta: Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP
Yogyakarta.
A.Mukti Ali. 1989. Metodologi Ilmu Agama Islam. Yogyakarta: Tiara Wacara.
Sulthon, Muhammad. 2003. Desain Ilmu Dakwah.
Yogyakarta Pustaka Pelajar.
Basit, Abdul, M.Ag. 2006. Wacana Dakwah
Kontemporer. Purwokerto. STAIN
Purwokerto Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar